Sering
kita mendengar kata idealis/idealisme,
seperti 'dia terlalu idealis',
sok 'idealis', by the way apa
sih idealis/idealisme itu?
menurut saya idealisme
adalah suatu standar kesempurnaan, Keunggulan, Keindahan, dan kebaikan
yang menjadi tolok ukur setiap ucapan, tindakan, perbuatan dan prinsip hidup
seseorang sehingga pada keadaan apapun orang tersebut tetap bertahan pada tolok
ukur yang telah dia tentukan tanpa ada kata kompromi.
Akan
tetapi dalam memegang idealisme kita akan dibenturkan pada kenyataan dalam
kehidupan. Seperti lingkungan, pekerjaan yang pasti kita temui. tidak ada yang
mudah memang. apalagi jika idealisme kita bertentangan dengan keluarga. nah!
kalau begini masih sanggupkah kita bertahan dalam idealisme kita tersebut?
Jawabannya tergantung pribadi kita masing-masing.
Dalam
membentuk sikap idealisme, harus ada keyakinan dan rasa kepercayaan diri bahwa
dengan hidup mengikuti idealisme kita, kita yakin bahwa apa yang akan kita
dapatkan dikemudian hari akan sesuai dengan apa yang kita rencanakan
sebelumnya, jika tidak, maka diri kita akan terjebak dalam situasi pragamatis
dimana kepercayaan akan idealisme kita dapat tertawar oleh keadaan lingkungan
sekitar kita, bukan hanya mempengaruhi sikap kita akan kepercayaan dan
keyakinan, namun juga mempengaruhi akan hasil yang akan kita dapatkan dimasa
yang akan datang. jadi kembali ke pertanyaan tadi, sanggupkah kita bertahan
dalam idealisme kita?. jawabannya tergantung pada keyakinan dan kepercayaan
diri kita terhadap standar yang kita buat tersebut.
Sejarah
telah mencatat banyak tokoh yang tetap memegang teguh idealismenya sekalipun
nyawa taruhannya. sebagai contoh, sebagai seorang muslim saya mengambil contoh pertama, Nabi Muhammad Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam. Pada saat Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam berdakwah,
beliau selalu mendapat perlakuan tidak baik dari Abu Lahab dan kawan-kawan.
Ejekan, hinaan, dan penganiayaan bahkan ancaman pembunuhan diterima Rasulullah
dan pengikutnya. Namun, sedikit pun tidak melemahkan iman mereka. Tidak pula
menyurutkan tekad dan semangatnya dalam menjalankan dakwahnya.
Ada
suatu ucapan dari Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam yang dengan tegas menolak mundur dari
kebenaran yang diusungnya.
“Meskipun mereka
meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan ditangan kiriku, agar aku
meninggalkan seruanku. Sungguh, sampai mati pun tidak akan kutinggalkan !”
ini
hanya salah satu contoh keteguhan Rasulullah
Shalallahu 'alaihi wassalam yang saya tuliskan, walau sebenarnya sangat
banyak contoh keteguhan yang beliau buktikan dalam memegang standar kebenaran
yang ditentukan Allah subhanahu
wata'ala atas dirinya. Kesungguhan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam menjalankan dakwah telah
membuat musuhnya kalang kabut. Tetapi, menjadi batu magnet yang menarik setiap
pengikutnya untuk tetap setia pada ajaran-Nya hingga akhirnya Islam menguasai
kota Makkah yang menjadi basis lawannya ketika itu.
contoh
lain adalah Sayyid Qutbh, Ulama, da’i, serta para penyeru Islam yang
mempersembahkan nyawanya di Jalan Allah, atas dasar ikhlash kepadaNya, sentiasa
ditempatkan Allah sangat tinggi dan mulia di hati segenap manusia.
Di antara da’i dan penyeru Islam itu
adalah Syuhada (insya Allah) Sayyid Qutb. Bahkan peristiwa eksekusi matinya
yang dilakukan dengan cara digantung, memberikan kesan mendalam dan
menggetarkan bagi siapa saja yang mengenal Beliau atau menyaksikan sikapnya
yang teguh. Di antara mereka yang begitu tergetar dengan sosok mulia ini adalah
dua orang polisi yang menyaksikan eksekusi matinya (di tahun 1966).
Salah seorang polisi itu mengetengahkan kisahnya kepada
kita:
Ada banyak
peristiwa yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya, lalu peristiwa itu
menghantam kami dan merubah total kehidupan kami.
Di penjara militer pada saat itu,
setiap malam kami menerima orang atau sekelompok orang, laki-laki atau
perempuan, tua maupun muda. Setiap orang-orang itu tiba, atasan kami
menyampaikan bahwa orang-orang itu adalah para pengkhianat negara yang telah
bekerja sama dengan agen Zionis Yahudi. Karena itu, dengan cara apapun kami
harus bias mengorek rahasia dari mereka. Kami harus dapat membuat mereka
membuka mulut dengan cara apapun, meski itu harus dengan menimpakan siksaan
keji pada mereka tanpa pandang bulu.
Jika tubuh mereka penuh dengan
berbagai luka akibat pukulan dan cambukan, itu sesuatu pemandangan harian yang
biasa. Kami melaksanakan tugas itu dengan satu keyakinan kuat bahwa kami tengah
melaksanakan tugas mulia: menyelamatkan negara dan melindungi masyarakat dari
para “pengkhianat keji” yang telah bekerja sama dengan Yahudi hina.
Begitulah, hingga kami menyaksikan
berbagai peristiwa yang tidak dapat kami mengerti. Kami mempersaksikan para
‘pengkhianat’ ini sentiasa menjaga shalat mereka, bahkan sentiasa berusaha
menjaga dengan teguh qiyamullail setiap malam, dalam keadaan apapun. Ketika
ayunan pukulan dan cabikan cambuk memecahkan daging mereka, mereka tidak
berhenti untuk mengingat Allah. Lisan mereka sentiasa berdzikir walau tengah
menghadapi siksaan yang berat.
Beberapa di antara mereka berpulang
menghadap Allah sementar ayunan cambuk tengah mendera tubuh mereka, atau ketika
sekawanan anjing lapar merobek daging punggung mereka. Tetapi dalam kondisi
mencekam itu, mereka menghadapi maut dengan senyum di bibir, dan lisan yang
selalu basah mengingat nama Allah.
Perlahan, kami mulai ragu, apakah
benar orang-orang ini adalah sekawanan ‘penjahat keji’ dan ‘pengkhianat’?
Bagaimana mungkin orang-orang yang teguh dalam menjalankan perintah agamanya
adalah orang yang berkolaborasi dengan musuh Allah?
Maka kami, aku dan temanku yang
sama-sama bertugas di kepolisian ini, secara rahasia menyepakati, untuk sedapat
mungkin berusaha tidak menyakiti orang-orang ini, serta memberikan mereka
bantuan apa saja yang dapat kami lakukan. Dengan ijin Allah, tugas saya di
penjara militer tersebut tidak berlangsung lama. Penugasan kami yang terakhir
di penjara itu adalah menjaga sebuah sel di mana di dalamnya dipenjara
seseorang. Kami diberi tahu bahwa orang ini adalah yang paling berbahaya dari
kumpulan ‘pengkhianat’ itu. Orang ini adalah pemimpin dan perencana seluruh
makar jahat mereka. Namanya Sayyid Qutb.
Orang ini agaknya telah mengalami
siksaan sangat berat hingga ia tidak mampu lagi untuk berdiri. Mereka harus
menyeretnya ke Pengadilan Militer ketika ia akan disidangkan. Suatu malam,
keputusan telah sampai untuknya, ia harus dieksekusi mati dengan cara
digantung.
Malam itu seorang sheikh dibawa menemuinya, untuk mentalqin dan mengingatkannya
kepada Allah, sebelum dieksekusi.
(Sheikh itu berkata, “Wahai Sayyid, ucapkanlah Laa ilaha illa Allah…”. Sayyid Qutb
hanya tersenyum lalu berkata, “Sampai juga engkau wahai Sheikh, menyempurnakan
seluruh sandiwara ini? Ketahuilah, kami mati dan mengorbankan diri demi membela
dan meninggikan kalimat Laa ilaha illa Allah, sementara engkau mencari makan
dengan Laa ilaha illa Allah”. Pent)
Dini hari esoknya, kami, aku dan
temanku, menuntun dan tangannya dan membawanya ke sebuah mobil tertutup, di
mana di dalamnya telah ada beberapa tahanan lainnya yang juga akan dieksekusi.
Beberapa saat kemudian, mobil penjara itu berangkat ke tempat eksekusi, dikawal
oleh beberapa mobil militer yang membawa kawanan tentara bersenjata lengkap.
Begitu tiba di tempat eksekusi, tiap
tentara menempati posisinya dengan senjata siap. Para perwira militer telah
menyiapkan segala hal termasuk memasang instalasi tiang gantung untuk setiap
tahanan. Seorang tentara eksekutor mengalungkan tali gantung ke leher Beliau
dan para tahanan lain. Setelah semua siap, seluruh petugas bersiap menunggu
perintah eksekusi.
Di tengah suasana ‘maut’ yang begitu
mencekam dan menggoncangkan jiwa itu, aku menyaksikan peristiwa yang
mengharukan dan mengagumkan. Ketika tali gantung telah mengikat leher mereka,
masing-masing saling bertausiyah kepada saudaranya, untuk tetap tsabat dan
shabr, serta menyampaikan kabar gembira, saling berjanji untuk bertemu di
Surga, bersama dengan Rasulullah tercinta dan para Shahabat. Tausiyah ini
kemudian diakhiri dengan pekikan, “ALLAHU AKBAR WA LILLAHIL HAMD!” Aku tergetar
mendengarnya.
Di saat yang genting itu, kami
mendengar bunyi mobil datang. Gerbang ruangan dibuka dan seorang pejabat
militer tingkat tinggi datang dengan tergesa-gesa sembari memberi komando agar
pelaksanaan eksekusi ditunda.
Perwira tinggi itu mendekati Sayyid
Qutb, lalu memerintahkan agar tali gantungan dilepaskan dan tutup mata dibuka.
Perwira itu kemudian menyampaikan kata-kata dengan bibir bergetar, “Saudaraku
Sayyid, aku datang bersegera menghadap Anda, dengan membawa kabar gembira dan
pengampunan dari Presiden kita yang sangat pengasih. Anda hanya perlu menulis
satu kalimat saja sehingga Anda dan seluruh teman-teman Anda akan diampuni”.
Perwira itu tidak membuang-buang
waktu, ia segera mengeluarkan sebuah notes kecil dari saku bajunya dan sebuah
pulpen, lalu berkata, “Tulislah Saudaraku, satu kalimat saja… Aku bersalah dan
aku minta maaf…”
(Hal serupa pernah terjadi ketika
Ustadz Sayyid Qutb dipenjara, lalu datanglah saudarinya Aminah Qutb sembari
membawa pesan dari rejim thowaghit Mesir, meminta agar Sayyid Qutb sekedar
mengajukan permohonan maaf secara tertulis kepada Presiden Jamal Abdul Naser,
maka ia akan diampuni. Sayyid Qutb mengucapkan kata-katanya yang terkenal,
“Telunjuk yang sentiasa mempersaksikan keesaan Allah dalam setiap shalatnya,
menolak untuk menuliskan barang satu huruf penundukan atau menyerah kepada
rejim thowaghit…”. Pent)
Sayyid Qutb menatap perwira itu
dengan matanya yang bening. Satu senyum tersungging di bibirnya. Lalu dengan
sangat berwibawa Beliau berkata,
“Tidak akan pernah! Aku tidak akan pernah
bersedia menukar kehidupan dunia yang fana ini dengan Akhirat yang abadi”.
Perwira itu berkata, dengan nada
suara bergetar karena rasa sedih yang mencekam, “Tetapi Sayyid, itu artinya
kematian…”
Ustadz Sayyid Qutb berkata tenang,
“Selamat datang kematian di Jalan Allah… Sungguh Allah Maha Besar!”
Aku menyaksikan seluruh episode ini,
dan tidak mampu berkata apa-apa. Kami menyaksikan gunung menjulang yang kokoh
berdiri mempertahankan iman dan keyakinan. Dialog itu tidak dilanjutkan, dan
sang perwira memberi tanda eksekusi untuk dilanjutkan.
Segera, para eksekutor akan menekan
tuas, dan tubuh Sayyid Qutb beserta kawan-kawannya akan menggantung. Lisan
semua mereka yang akan menjalani eksekusi itu mengucapkan sesuatu yang tidak
akan pernah kami lupakan untuk selama-lamanya… Mereka mengucapkan, “Laa ilaha
illah Allah, Muhammad Rasulullah…”
Sejak hari itu, aku berjanji kepada
diriku untuk bertobat, takut kepada Allah, dan berusaha menjadi hambaNya yang sholeh.
Aku sentiasa berdoa kepada Allah agar Dia mengampuni dosa-dosaku, serta menjaga
diriku di dalam iman hingga akhir hayatku. Begitulah kisah sang sayyid Qutb.
Contoh Idealisme yang cukup terkenal beberapa
dekade terakhir adalah :
Tan Malaka yang terkenal dengan ungkapannya "Idealisme adalah kemewahan terakhir yang pemuda punya". Soe
hok gie yang terkenal dengan ungkapannya "Lebih baik diasingkan
daripada mati dalam kemunafikan". kemudian, Pramoedya Ananta Toer yang
terkenal dengan ungkapannya, "Berbahagialah mereka yang makan
dari keringatnya sendiri, bersuka karena usahanya sendiri, dan maju karena
pengalaman nya sendiri."
Itulah segelumit tentang Idealisme. Sekarang
pertanyaannya BAGAIMANA DENGAN KITA?..., sudah cukup idealis kah?